Jumat, 08 Agustus 2008

EKSPLOITASI WANITA DALAM IKLAN TELEVISI

ABSTRACT
Wanita memiliki peran yang sangat penting dalam iklan. Terutama pada iklan-iklan pada produk yang mengharuskan untuk ada peran wanitanya. Sekarang ini banyak sekali iklan yang cenderung mengeksploitasi wanita. Yang ditampilkan justru bukan dari bagaimana agar komunikasi dalam iklan tersebut efektif, namun malah cenderung mengeksploitasi kemolekan wanita sebagai modelnya, eksploitasi tidak hanya dari kemolekan tubuh saja, tetapi juga dari segi budaya dan segala yang melekat dan identik dengan wanita. Seperti apakah bentuk-bentuk eksploitasi wanita dalam iklan televisi tersebut?. Dalam etika periklanan yang seharusnya dihargai dan dijunjung tinggi demi kepentingan bersama justru banyak dilanggar. Karena dianggap membatasi kreativitas. Jadi menurut saya iklan seharusnya mengutamakan sampainya pesan yang efektif kepada audience. Bukannya menampilkan iklan secara berlebihan yang dalam hal ini malah merendahkan pihak lain yakni kaum hawa.
Kata kunci: Etika periklanan, bentuk eksploitasi wanita dalam iklan televisi.

PENDAHULUAN
Ciptaan Tuhan yang paling menarik perhatian sepanjang masa adalah wanita. Tidak ada habisnya wanita diperbincangkan : mulai dari kecantikannya, perilakunya, perannya, seakan tak ada pengertian yang menyeluruh tentang wanita. Fenomena ini sudah ada sejak dulu, namun tampaknya makin lama semakin mengeksplotir wanita. Dapat kita lihat dalam hal ini adalah televisi (iklan dan sinetron), semakin lama daya tarik fisik wanita semakin ditonjolkan. Tubuh dan seksualitas wanita dijadikan komoditas untuk tujuan komersil dimana kapitalisme yang berperan kuat.
Dalam strategi pemasaran modern, keberadaan iklan sudah menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari demi sebuah produk yang ditawarkan agar mendapat tempat di hati masyarakat. Dalam strategi pemasaran modern, iklan yang tersaji dalam media massa pada umumnya dapat dianggap sebagai media penyadaran bagi khalayak tentang suatu produk. Penyadaran dalam konteks komunikasi periklanan, tidak hanya sekedar tahu tetapi juga mendorong mereka untuk membelinya.
Namun dalam perkembangannya lebih lanjut menunjukkan bahwa iklan cenderung membangun realitasnya sendiri dengan mengeksploitasi nilai-nilai (bukan hanya sekedar nilai guna) yang dimiliki oleh sebuah produk. Nilai-nilai yang mereka adopsi tersebut tidak jarang juga mengandung manipulasi tentang keadaan yang sebenarnya, agar memperoleh respon yang kuat dari khlayak. Oleh karena itu makna yang dibentuk dari sebuah produk melalui iklan, bukan hanya sekedar didasarkan pada fungsi dan nilai guna barang, tetapi sudah dimasuki nilai-nilai yang lain, misalnya citra diri indidvidu, gaya hidup sekelompok orang, dan kepuasan.
Proses rekayasa dalam iklan untuk wanita, seperti yang dapat diamati selama ini, khususnya dalam iklan televisi sudah sedemikian kuatnya bahkan cenderung vulgar dan sering tidak relevan dengan produk yang dijual. Pada beberapa jenis iklan tertentu, citra yang terbentuk bahkan lebih kuat unsur pornografinya dari pada mengekspresikan kelebihan produk yang diiklankan. Kesan tersebut dapat dibentuk dari berbagai komponen iklan, misalnya unsur verbal (ucapan atau teks iklan) dan unsur visual atau gambar.
Dalam unsur visual misalnya konstruksi makna sebagai ekspresi cita rasa, lebih banyak mengeksploitasi tubuh wanita sebagai alat manipulasi, yang ditujukan sebagai tanda dari simbol-simbol tertentu yang stereotipe ada pada diri wanita. Misalnya keanggunan, kelembutan, kelincahan dan keibuan.
Contohnya dapat dilihat secara langsung dalam iklan-iklan berbagai produk ditelevisi. Sederetan iklan yang ditampilkan di media televisi mayoritas menonjolkan keindahan tubuh wanita. Dari iklan produk rokok, minuman penambah energy, obat penambah tenaga dan semangat lembur bagi lelaki, kondom, motor, dll.
Oleh karena itu, dalam komunikasi periklanan makna yang muncul didasarkan pada permainan simbol-simbol yang semuanya bermuara pada bujuk rayu untuk mengkonsumsi suatu komoditas. Sementara itu relasi-relasi dan budaya konsumen tidak lagi ditopang oleh nilai guna suatu produk atau komoditas, batas antara logika sosial (logika kebutuhan) dan logika hasrat (logika keinginan) menjadi kabur (Suharko, 1998).
Banyak sekali produk yang berhubungan langsung dengan wanita mempergunakan dunia wanita, semata-mata hanya untuk menarik perhatian audience. Semua iklan-iklan tersebut sarat akan eksploitasi tubuh wanita, sangat merendahkan martabat wanita dan yang lebih parah lagi adalah iklan-iklan tersebut sesungguhnya
malah dapat memberikan contoh pada masyarakat mengenai pelecehan seksual terhadap wanita.
Kecenderungan selama ini, para pembuat iklan selalu menempatkan wanita sebagai model. Keadaan seperti ini memang menjadikan iklan sebagai lahan yang subur untuk wanita, karena honor yang mereka peroleh cukup fantastis dan sangat menggiurkan. Pada dasarnya model iklan ditujukan untuk memberikan rasa keindahan bagi khalayaknya. Maka dari itu dipilihlah sosok wanita yang tampak sangat sempurna seperti yang telah digambarkan. wanita menjadi objek pemuas penonton dalam periklanan.
Dalam dunia periklanan (khususnya iklan televisi) wanita masih sebatas dijadikan sebagai objek eksploitasi dan sebatas pemuas. Bahkan sutradara-sutradara iklan wanita pun ternyata masih mengadopsi stereotipe tersebut untuk memuaskan konsumen (khalayak yang menyaksikan iklan).
Contohnya dapat langsung dilihat dalam iklan-iklan obat-obat penguat untuk laki-laki merupakan iklan yang paling eksploitatif. Dalam iklan-iklan tersebut, ditampilkan wanita harus selalu siap melayani laki-laki dan selalu berpenampilan seksi agar dapat memuaskan pasangannya. Tentu saja keadaan seperti ini dapat membuat perjuangan para aktivis wanita mengenai gender selama ini seolah – olah menjadi sia-sia. Ketika mereka berupaya melakukan pemberontakan tradisi yang patriarkis ternyata dalam sekejap saja citra wanita yang patriarkis masih diadopsi oleh media. Karena media melakukan semua ini demi meraup keuntungan.
Tidak heran jika beberapa waktu yang lalu mengundang protes dari masyarakat terhadap media yang bersangkutan. Media massa kebanyakan masih profit oriented, dan yang mendominasi media pada umumnya adalah pemilik, penulis, reporter, editor dan sebagainya. Dimana mereka semua itu masih didominasi oleh kaum laki-laki.
Sebagai bangsa yang besar dan dengan jumlah penduduk yang banyak yang artinya memiliki jumlah otak yang banyak pula, seharusnya kreativitas seni di negeri ini lebih baik lagi daripada hanya sekedar meniru dari apa yang sudah ada sebelumnya. Masalah yang sekarang juga semakin menyedihkan adalah banyaknya iklan-iklan yang tidak sehat dan bersifat ekploitasi masyarakat, dan justru memberi kesan si pembuat iklan tersebut adalah orang-orang bodoh dan tidak kreatif.
Iklan yang berupa eksploitasi misalnya yang paling banyak mendeskreditkan kaum hawa, seperti contoh yang menonjolkan kesan bahwa wanita yang sempurna itu adalah yang langsing, berkulit putih mulus, berambut panjang, pakaiannya terbuka seperti u can see / tank top. Selain itu perempuan yang cantik dan sempurna digambarkan dengan berkulit putih, berambut lurus, rajin merawat tubuh, langsing dan tidak gaptek (gagap teknologi). Ini banyak terjadi dalam iklan-iklan shampo, sabun mandi, kosmetik, dan pembalut wanita. Kita sering melihat iklan kosmetik pemutih kulit. Wanita yang setelah menggunakan kosmetik tersebut akan tampak putih dan cantik hanya dalam beberapa hari saja.
Selain wanita dengan kriteria seperti itu berarti dianggap tidak sempurna. Secara rasional memang model iklan produk wanita tentu saja harus yang relatif cantik atau menarik serta berbadan indah, tetapi tidak seharusnya lalu kemudian menjadikan wanita sebagai alat menonjolkan payudara yang kencang, atau perut yang langsing, kulit yang putih mulus. Iklan yang mengeksploitasi wanita seperti demikian harus di hentikan, karena dampaknya sangat besar bagi para wanita secara psikologis, bagi para wanita yang merasa dirinya kurang cantik seperti yang digambarkan dalam iklan diatas. Depresi yang berat sangat riskan terjadi pada para wanita, sedangkan depresi itu sendiri adalah bagi wanita yang gemuk misalnya, karena tidak percaya diri dengan badannya yang gemuk atau over weight mereka akan melakukan berbagai macam hal demi kemudian mendapatkan badan yang ideal. Padahal cara yang dilakukannya belum tentu aman , malah dapat mengancam kesehatan organ-organ tubuhnya. Karena dia telah terhimpit rasa frustasi.
Selain itu wanita yang ditampilkan dalam iklan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya patriarki yang menjadikan wanita sebagai pendamping pria sejak masa remaja sampai masa manula (kakek nenek). Dalam iklan, wanita selalu diidentikkan dengan kegiatan masak-memasak, kecantikan, perawatan tubuh, bentuk-bentuk tubuh yang proporsional, kulit putih, rambut lurus dan panjang. Media, terutama iklan memiliki perngaruh yang sangat kuat dalam menentukan gambaran wanita yang seolah-olah didambakan dalam masyarakat. Banyak iklan yang secara tidak langsung mendiskreditkan wanita yang dianggap tidak memenuhi criteria badan ideal wanita dewasa. Wanita dengan tubuh yang tidak langsing, atau tidak berkulit putih dan berambut lurus tidak mendapatkan tempat dalam media iklan dan bukan type wanita ideal yang didambakan laki-laki.
Citra stereotip wanita seperti yang disebutkan dalam iklan-iklan melekat dalam masyarakat, maka tidak heran kalau biro iklan selalu mengikuti citra masyarakat dan menggantungkan dirinya menjadikan tubuh wanita sebagai komoditas. Karena dalam iklan, segi komersial menjadi pertimbangan utama. Beberapa alasan penyebab dipilihnya wanita pada sebagian besar iklan adalah ; alasan pertama, karena sebagian besar iklan ditujukan pada wanita (wanita sebagai target produk), pembeli potensial dan produk yang diiklankan di Indonesia kebanyakan barang konsumsi sehari-hari. Alasan kedua, yang menentukan pembelian barang-barang ini adalah wanita.
Remaja putri juga sering menjadi sasaran baik sebagai model maupun target pasar dari iklan produk kecantikan yang ditawarkan. Banyak model-model iklan yang ditampilkan adalah remaja, hal ini dilakukan untuk menarik remaja lainnya untuk meniru penampilan model iklan yang sama-sama berusia remaja. Produk yang ditawarkanpun sengaja dilabelkan seolah-olah khusus untuk remaja yang aktif, cantik, dan trendy. Sebagai target pasar, remaja sangat potensial sebagai konsumen, karena dalam usia remaja, perasaan selalu ingin tampil menarik lawan jenis (masa pubertas) sangat mendominasi kepribadiannya. Sehingga remaja putri, berlomba-lomba membeli produk yang ditawarkan untuk tampil cantik dan menarik ala model, untuk menunjukkan eksistensinya didepan remaja pria.
Dalam masyarakat muncul pandangan bahwa perempuan adalah objek seks yang fungsi utamanya di dunia, adalah untuk melayani pria. Dan karena dicitrakan sebagai objek seks, persepsi bahwa perempuan harus tampil dan berperilaku sebagai objek seks adalah suatu keharusan. Wanita harus tampil dengan menonjolkan daya tarik seksual, harus bersedia mengalami pelecehan seksual dan harus memaklumi perilaku seksual agresif pria. Dan inilah yang selama ini diadopsi oleh pembuat iklan.
Selama ini banyak iklan televisi yang mengeksploitasi wanita sebagai objek seks yang pada akhirnya melahirkan masyarakat yang syarat dengan kekerasan terhadap wanita. Artinya media memiliki andil yang besar dalam melegalkan konsepsi yang merendahkan wanita dan kekerasan terhadap wanita.
Fenomena ini sangat menarik bagi saya untuk dikaji, karena seolah-olah kok tiada hentinya, alias wanita selalu diposisikan demikian. Benarkah ada eksploitasi wanita dalam iklan televisi? Bagaimanakah bentuk-bentuk ekspoitasi wanita dalam iklan televisi tersebut?.Dari stereotype yang sejak lama lekat pada masyarakat, dan kemudian “dimanfaatkan” oleh media periklanan (khususnya televisi). Yang diadopsi dan kemudian dijadikan materi dalam pembuatan iklan televisi tersebut.

KERANGKAPEMIKIRAN
KONSEP AIDDA
AIDDA adalah akronim dari kata-kata italic , Interest, Desre, Decision, Action. Konsep AIDDA ini adalah proses psikologis pada diri khalayak. Berdasarkan konsep AIDDA itu agar khalayak membaca dan melakukan apa yang dianjurkan pihak penyusun berita atau tajuk artikel, maka pertama-tama mereka harus dibangkitkan perhatiannya.
AIDDA
Attention (perhatian)
Pesan pada kemasan harus menarik perhatian konsumen sasaran, karena pesan yang mampu menarik perhatian yang akan dicoba konsumen.
Interest (minat)
Setelah perhatian konsumen berhasil direbut, pesan harus dapat menimbulkan minat sehingga timbul rasa ingin tahu secara lebih rinci didalam diri konsumen. Untuk itu harus dicoba dirangsang agar konsumen mau mencoba.
Desire (keinginan)
Pesan yang baik harus dapat membimbing keinginan konsumen untuk menikmati produk yang ditampilkan dalam pesan. Iklan yang baik-baik berarti iklan tersebut dapat menuntun konsumennya untuk memakai produk yang diiklankan tersebut sesuai dengan kebutuhannya.
Decision (keputusan)
Pesan yang baik harus dapat menolong konsumen untuk memutuskan sesuatu.
Action (tindakan)
Upaya akhir yang dilakukan untuk membujuk konsumen agar segera mungkin melakukan sesuatu tindakan (berperilaku), (Kasali, Gretina Nadiasari, 2005:10).
Dr. Thamrin Amal Tamagola (seorang sosiolog) menemukan 5 citra wanita dalam iklan, yang ia sebut sebagai P-5: citra peraduan, citra pigura, pilar rumah tangga, citra pergaulan dan citra pinggan.
Citra peraduan; citra ini menganggap wanita sebagai obyek seks atau pemuasan pria. Seluruh kecantikan wanita (kecantikan alamiah maupun buatan) disediakan untuk dikonsumsi pria) seperti menyentuh, memandang, dan mencium. Kepuasan laki-laki adalah kepuasan wanita yang merasa dihargai. Bagian tubuh yang dieksploitir adalah betis, dada, punggung, pinggul dan rambut. Paling jelas dalam iklan obat-obat kuat, kondom dan sebagainya.
Citra pigura, digambarkan sebagai mahluk yang harus memikat dengan ciri-ciri biologisnya seperti: buah dada, pinggul, dan ciri-ciri keperempuanan yang dibentuk oleh budaya; seperti rambut, panjang betis, dan lain-lain. Wanita sebagai makhluk yang cantik dan harus selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet, aksesori, pakaian; segala sesuatu yang mewah diasosiasikan sebagai perempuan.
Citra sebagai pilar, wanita juga diharapkan mampu me-manage rumah tangga. Ia sekurang-kurangnya harus mengelola tiga hal. Pertama, barang-barang di dalam rumah. Kedua, mengelola belanja, finansial. Ketiga, mengelola anak-anak dan para pembantu. Wanita yang bekerja di dalam rumah diharapkan mampu menerapkan manajemen modern di dalam rumah tangga.
Disitu konsep tradisional dari wanita sebagai pilar rumah tangga dan keluarga, yang menggambarkan wanita memiliki beban ganda sebagai penentu keberhasilan manajemen keuangan keluarga dan sebagai ibu yang bisa mengurus anak dan suami. Iklan untuk berbagai macam alat rumah tangga hasil teknologi, memindahkan konsep-konsep publik ke domestik untuk memberi kesan pekerjaan domestik bukan pekerjaan yang melelahkan dan menghabiskan waktu, tetapi harus dikelola secara efektif, efisien dan sistematik.
Citra pergaulan , wanita dalam citra pergaulan ada hubungannya dengan citra peraduan. Anggapan tersirat bahwa wanita merupakan merupakan alat pemuas kebutuhan laki-laki, kecantikan wanita sepantasnya dipersembahkan kepada laki-laki lewat sentuhan, rabaan, pandangan, ciuman dan sebagainya. Dalam beberapa iklan suplemen makanan dan ramuan tradisional pembangkit gairah seksual, kepuasaan tidak hanya pada laki-laki tetapi juga berdampak pada diri wanita yang merasa dihargai oleh laki-laki. Selain itu, dalam konsep Jawa, seorang istri menjadi pendamping yang merefleksikan status, jabatan suami dalam dirinya. Bukannya fisik, tapi perilaku tata kramanya, juga bahan percakapan dan bahasa yang dipakai. Artinya istri harus mengimbangi suaminya dengan percakapan-percakapan yang selevel dengan status suami.
Citra pinggan lebih banyak digunakan untuk menawarkan makanan, minuman, bumbu masak, alat-alat rumah tangga dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dapur. Setinggi apapun pendidikan wanita atau berapa besarpun penghasilan wanita , ia tak akan dapat jauh dari dapur, kompor, asap penggorengan, bumbu masak dan lain. Citra wanita (image of women) dengan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga sudah jauh lebih dahulu terbentuk ketimbang kemunculan media massa. Ketika kita melihat iklan di berbagai media yang menayangkan wanita sedang memasak dengan memakai bumbu masak tertentu, di situ kita disuguhi citra tentang posisi sosial wanita yang sudah baku dalam kehidupan masyarakat, yakni sebagai pengelola utama kebutuhan konsumsi rumah tangga.
ETIKA PERIKLANAN
Pornografi dan Pornoaksi ; iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apapun dan untuk tujuan dan alasan apapun.
Perempuan; Iklan tidak boleh melecehkan, mengeksploitasi, mengobjekkan atau mengornamenkan perempuan sehingga memberi kesan yang merendahkan kodrat, harkat dan martabat mereka.
Iklan tidak mempertentangkan atau membiaskan kesetaraan hak jender dalam segala aspek kehidupan sehari-hari . Dalam topic ini khususnya mengenai seksualitas; bahwa baik pria maupun wanita tidak boleh dieksploitasi secara seksual.
Menutup ruang gerak bagi eksploitasi dan pemanfaatan pornografi dalam periklanan.
Seksualitas; baik pria maupun wanita tidak boleh dieksploitasi secara seksual.
Kekerasan dan pengendalian; bahwa iklan tidak boleh terdapat penggambaran kekerasan dan atau pengendalian oleh pri terhadap wanita ataupun sebaliknya, oleh wanita terhadap pria.

PEMBAHASAN
Pengaplikasian konsep AIDDA, pertama; Attention (perhatian) adalah Jika tampilan pesan dalam iklan tersebut unik , lain dari pada yang lain, serta menarik maka secara otomatis audience akan memperhatikan iklan tersebut dengan semangat dan bila kemasan materi iklan tersebut menarik bagi konsumen, maka kemudian lama kelamaan akan timbul rasa penasaran pada diri konsumen terhadap produk yang diiklankan tersebut. Nah, untuk menarik perhatian konsumen inilah, para pembuat iklan berlomba-lomba dengan berbagai upaya berusaha untuk mencuri perhatian konsumen atau calon konsumen agar iklannya mendapatkan tempat dihati khalayak. Dalam hal ini, para pembuat iklan menggunakan langkah-langkah ekstrim, yakni dengan ide-ide yang eksploitatif terhadap wanita. Kedua; Interest (minat) adalah ketika khalayak / audience mau menoleh atau minimal menonton iklan tersebut, berarti iklan tersebut tidak menyebalkan, dan telah berhasil menarik perhatian audiencenya. Nah, setelah berhasil membuat audience merelakan waktunya untuk menonton iklan tersebut, apakah iklan tersebut sanggup membuat audience penasaran untuk tau lebih rinci mengenai produk tersebut. Para pembuat iklan yang nekat membuat iklan-iklan yang eksploitatif patut berbangga hati bila iklan yang dibuatnya tersebut sanggup merangsang rasa penasaran audience terhadap produk yang diiklankan tersebut. Ketiga; Desire (keinginan) adalah iklan apapun itu pasti dapat mengetuk audiencenya untuk mencoba produk tersebut. Maka sebaiknya iklan dapat menuntun audiencenya dengan baik dalam memakai produk yang diiklankan sesuai dengan kebutuhannya. Maka dari itu tata krama iklan sebaiknya dipahami dan diterapkan para pembuat iklan dalam setiap karyanya. Dan tidak mengeksploitasi dari berbagai segi, dalam hal ini adalah wanita. Keempat; Decision (keputusan) adalah pesan yang disampaikan dari materi iklan yang baik dan sehat adalah tidak bersifat pembodohan terhadap masyarakat, iklan-iklan yang mengeksploitasi wanita dan cenderung melecehkan kaumnya. Dan calon konsumen yang menyaksikan tayangan-tayangan iklan tersebut bias jadi tertipu dengan iklan hiperbola yang eksploitatif terhadap perempuan tersebut. Kelima; Action (tindakan) adalah upaya akhir yang dilakukan untuk membujuk konsumen agar segera mungkin melakukan sesuatu tindakan (berperilaku), nah hal inilah yang diadopsi oleh para pembuat iklan dengan ide-ide ekstrim mereka agar pesan iklan tersebut dapat dengan mudahnya sampai dihati masyarakat dan dapat segera memberi pengaruh pada khalayaknya.
Bentuk_bentuk eksploitasi
Bentuk-bentuk eksploitasi terhadap wanita dalam iklan televisi sangat beragam. Eksploitasi tersebut dapat berupa kata-kata atau kalimat yang digunakan dalam iklan tersebut . Jadi kata-katapun haruslah diperhatikan penggunaanya, jangan sampai berlebihan dan harus tetap berpegang pada kode etik periklanan (khususnya televisi). Dalam hal ini wanita dilecehkan melalui kata-kata, bahkan tidak jarang pula menampilkan wanita sebagai objek seks dan instrumen seks.
Contohnya:
Sebuah iklan pompa air menggambarkan produk begitu jauhnya, ketika mengasosiasikan kekuatan pompa airnya sebagai “sedotannya kuat dan semburannya kenceng” dengan focus gambar sepasang pria dan wanita yang menggunakan busana minim model kemben. Orang tentu akan segera berpikir dan berfantasi tentang aktivitas seks dengan iklan tersebut.
Contoh lain adalah iklan kopi susu yang menyajikan model pria sedang merasakan nikmatnya kopi sambil berkata “Pas susunya”, kemudian muncul adegan yang malah cenderung mengarah ke payudara. Disini unsur pelecehan seksualitas wanita sangat kuat terlihat. Iklan ini jelas mengeksploitasi kaum hawa , meskipun disampaikan melalui kata- kata. Namun semua ini telah melecehkan kaum hawa.
Bentuk eksploitasi yang kedua adalah eksploitasi secara seksual. Yaitu mengeksploitasi wanita sebagai model iklan televisi tersebut dengan menonjolkan bagian-bagian tubuh wanita yang kemudian menjadi terkesan “wow” , atau dapat membuat orang yang melihatnya terpesona. Seperti misalnya menonjolkan lekuk-lekuk tubuhnya,dan menonjolkan bagian organ tertentu.
Contohnya:
Contohnya pada iklan sebuah produk hand and body lotion. Sepasang suami istri ketika hendak berangkat kepesta, sang model wanita (istri) kesulitan untuk menutup retsleting pada gaunnya dibagian punggung. Dalam iklan tersebut retsleting dibiarkan terbuka sehingga terlihat bagian punggung nya yang putih mulus, kemudian ia meminta tolong suaminya untuk menutupkan retsletingnya.
Dalam norma yang ada dalam mayarakat Indonesia khususnya, membiarkan atau dengan sengaja membuka aurat berarti tidak sopan dan termasuk merendahkan diri.
Bentuk eksploitasi ada yang dengan memanfaatkan kebiasaan atau pola pikir wanita pada umumnya. Seperti hal-hal yang menyangkut kepercayaan diri seorang wanita. Wanita sering kali merasa tidak percaya diri dengan sesuatu yang melekat pada dirinya. Sifat wanita yang seperti itu dimanfaatkan oleh pembuat iklan agar wanita yang menyaksikan iklan tersebut tertarik untuk membelinya. Yang menjajikan dapat menembah kepercayaan diri.
Seperti misalnya pada iklan produk pembesar payudara, pada iklan tersebut terselip kata-kata "Payudara besar meningkatkan rasa percaya diri Anda!"
Dari 5 citra yang ditemukan oleh Dr. Thamrin Amal Tamagola, Citra yang paling banyak dieksploitasi adalah wanita sebagai pilar rumah tangga. Ia harus menjalankan tugasnya mulai dari yang tradisional; sumur, kasur, dapur, sampai dengan yang agak modern, agak mutakhir, tetapi tetap dalam lingkup domestik. Dari dapur sudah sampai ke ruang tamu, menemani tamu suaminya, tapi masih dilingkup domestik. Bapak harus dihormati karena ia bekerja keras mencari nafkah setiap hari, sedangkan ibu harus mengelola keluarga dengan baik, mengurus telaten suaminya.
Etika periklanan yang sering dilanggar adalah mengenai:
Pornografi dan Pornoaksi : dalam tata karma iklan, hal yang menyangkut pornografi dan pornoaksi sangat dilarang. Sudah jelas-jelas dikatakan bahwa “iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apapun dan untuk tujuan dan alasan apapun”. Namun tetap saja para pembuat iklan tak mengindahkan kaidah – kaidah ini. Hampir mayoritas iklan yang ada di televisi selalu menampilkan sisi pornografinya.
Misalnya pada iklan:
Susu pelangsing: Dalam iklan tersebut ditampilkan seorang pria sedang memahat sebuah patung seorang wanita yang langsing dengan lekuk-tubuh yang indah. Dan yang menjadi model wanita yang dijadikan objek dalam memahat patung tersebut menggunakan pakaian yang “pres body” dan menonjolkan lekuk-lekuk tubuhnya dan pada pakaian bagian kanan- kiri perutnya dibuat lubang yang pas sekali kelihatan perut bagian kanan – kirinya yang langsing. Ini merupakan suatu bentuk pornografi, karena menonjolkan bagian tubuh secara mendetail dan vulgar.
Perempuan: dalam tata karma iklan , iklan tidak boleh mengobjekkan wanita sehingga dapat merendahkan mereka. Seperti yang tercantum dalam etika periklanan bahwa “Iklan tidak boleh melecehkan, mengeksploitasi, mengobjekkan atau mengornamenkan perempuan sehingga memberi kesan yang merendahkan kodrat, harkat dan martabat mereka”.
Misalnya pada iklan sebuah produk obat kuat untuk pria, dimana model dalam iklan tersebut adalah artis Dewi persik dan Mamik. Dewi persik yang terkenal sebagai artis / bintang panas didaulat untuk menjadi modelnya. Dengan menggunakan busana minim dan aktingnya yang “menggoda”. Seolah ia dapat meladeni pasangannya yang semakin “kuat” setelah minum obat kuat tersebut. Ini sudah termasuk melecehkan dan merendahkan kaum hawa, karena anggapan bahwa wanita adalah “pemuas” dijelaskan dan digambarkan secara vulgar.
Seksualitas: iklan tidak boleh menggambarkan suatu produk dengan adanya unsur-unsur seks didalamnya yang diperankan oleh model. Seperti yang sudah tertera dalam etika periklanan “baik pria maupun wanita tidak boleh dieksploitasi secara seksual”. Artinya mereka tidak boleh dijadikan komoditas untuk tampilan yang terlalu seksi atau vulgar.
Misalnya pada iklan sebuah produk shower. Pada iklan tersebut menampilkan seorang model wanita sedang mandi dengan rileksnya dibawah shower hanya mengenakan underwear dan bra. Iklan ini terlalu vulgar untuk budaya timur khususnya Indonesia, dan sangat melecehkan dan merendahkan martabat wanita. Karena sudah terlalu berlebihan mengeksploitasi.
Kekerasan dan pengendalian: bahwa iklan tidak boleh terdapat penggambaran kekerasan dan atau pengendalian oleh pria terhadap wanita ataupun sebaliknya, oleh wanita terhadap pria.
Misalnya adalah iklan produk hair tonic yang dapat membuat rambut lebih kuat dan bebas rontok. Dalam iklan tersebut ditampilkan , seorang wanita yang setelah menggunakan produk tersebut rambutnya menjadi kuat. Sehingga ketika bercanda dengan lawan mainnya yang menyeret tubuhnya dengan menarik rambut panjangnya, tak ada sehelai rambutpun yang rontok. Walaupun konteksnya bercanda, namun hal tersebut sesungguhnya terlalu berlebihan. Dalam kehidupan nyata hal tersebut tidak mungkin untuk dilakukan, karena terlalu kasar.
Dari contoh-contoh iklan seperti yang telah disebutkan diatas jelas telah mengeksploitasi kaum wanita, dari berbagai macam segi yang melekat pada wanita. Dan semua iklan tersebut telah melanggar tata karma periklanan dan undang-undang penyiaran. Padahal undang-undang periklanan juga sudah diterapkan dan badan-badan atau komisi yang memiliki wewenang untuk menindak segala bentuk pelanggaran pun juga sudah ada. Ya, semua ini karena para pembuat iklan masih bertolok ukur pada budaya dalam masyarakat, yang kemudian diadopsi dan dieksploitasi sedemikian rupa. Selain itu mereka juga mengadopsi stereotype wanita yang ada dalam masyarakat. Agaknya sulit sekali bagi para pembuat iklan untuk tidak mengeksploitasi wanita. Karena nilai-nilai budaya patriarki hingga saat ini masih dianut oleh media periklanan televisi di Indonesia khususnya, yaitu untuk mempermudah mereka dalam membuat iklan yang mudah sampai dibenak masyarakat.
Panduan yang diberikan EPI (Etika Pariwara Indonesia) sebenarnya sangat praktis dan mudah dimengerti. EPI sebagai suatu kitab etika, sanksi yang diberikan adalah bersifat sanksi etika organisasi. EPI sendiri produk Dewan Periklanan Indonesia yang menaungi ke 10 asosiasi. Sanksi bagi pelanggar EPI seharusnya diatur oleh masing-masing asosiasi pendukungnya. Di PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) ada Badan Pengawas Periklanan (BPP) yang bertugas mengamati periklanan di Indonesia dan memberikan teguran kepada anggota PPPI yang iklannya dinilai melanggar EPI.
Masyarakat melalui lembaga-lembaga yang mengamati dan memantau media sebaiknya mereka juga memberikan masukan yang kritis terhadap anggota PPPI yang yang iklannya dinilai melanggar EPI. Sehingga iklan televisi khususnya dalam menjalankan kebebasan berkreatifitas tetap dalam rambu-rambu yang ada.
Adalah juga keyakinan bahwa demi kebaikan dan kebenaran segala karya periklanan harus diawali dengan niat dan kesengajaan yang penuh tulus ikhlas.
Segala pranata dan cita-cita dalam mewujudkan periklanan yang taat peraturan diyakini dapat memberi arah bagi terwujudnya komunikasi pemasaran yang bermakna bagi produk dan bagi pihak lain, dalam hal ini khususnya adalah wanita!.

KESIMPULAN
Beberapa bukti yang menunjukkan telah terjadi pembiasan makna yang tidak “adil” tentang citra wanita dikemukakan oleh hasil beberapa hasil penelitian di Amerika. Paisley-Butler (1974) mengemukakan dari hasil penelitiannya bahwa kesan yang dibentuk dari iklan-iklan yang muncul tentang wanita yaitu:
Merendahkan wanita/dia; sebagai objek seks, dan objek seks.
Menempatkan wanita di tempatnya; perempuan diperlihatkan kebanyakan dalam peran tradisional atau berjuang dengan peran di ‘luar mereka’.
Berikan dia dua tempat; wanita bisa mendapatkan pekerjaan selama mereka tetap sebagai istri atau ibu; pekerjaannya hanya merupakan ‘tambahan’.
Mengakui bahwa bahwa wanita sejajar; wanita dalam peran-peran kompleks tanpa harus diingatkan bahwa pekerjaan rumah tangga dan menjadi ibu adalah pekerjaan mutlak mereka.
Berbagai permasalahan yang menimpa kaum wanita saat ini, diyakini akibat hegemoni budaya patriarki yang mendominasi semua sisi kehidupan. Eksploitasi tubuh wanita jelas merendahkan martabat wanita, namun hal ini yang justru dianggap biasa oleh pelaku. Karena sesuatu yang dianggap biasa dan lumrah tersebut yang tidak ditindak secara tegas yang kemudian menjadikan suatu kebiasaan yang kebablasan.
Munculnya budaya patriarki yang diklaim oleh feminis sebagai akar keterkungkungan perempuan dalam menyuarakan kebebasannya. Kerasnya persaingan serta streotype perempuan sebagai makhluk yang lemah membuat posisi perempuan semakin terpinggirkan. Gambaran keliru tersebut akan sangat meluas penggunaannya dalam berbagai bidang pembangunan termasuk upaya pemasyarakatan konsep gender yang dewasa ini tengah digalakkan. Konsep yang pada intinya menekankan pada upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan melalui pendekatan kemitrasejajaran laki-laki-perempuan tersebut, seharusnya memperoleh momentum melalui media elektronika TV, tetapi kenyataannya memperlihatkan gambaran yang agak berbeda; iklan televisi memiliki andil dalam mendorong peneguhan gambaran tentang peranan perempuan yang lebih bersifat domestik.
Dampak buruk iklan televisi antara lain disebabkan karena berbagai stereotipe yang diciptakan iklan itu sendiri, yang akan melahirkan semacam peneguhan (reinforcement). Menurut beberapa teori, kegiatan persuasi iklan merupakan kegiatan potensial untuk menciptakan image keliru.
Persoalan yang kerap muncul diperbincangkan mengenai wanita didalam masyarakat adalah bahwa wanita dianggap marginal dalam bidang produksi dengan menggunakan argument bahwa wanita marginal didalam bidang ini oleh karena dominan dalam tontonan. Marginalisasi wanita dalam bidang ini dan dominasi wanita sebagai objek tontonan sering menjadi ideology utama media-media. Bahwa wanita marginal dan subordinate dalam bidang budaya kerja maskulin (kelas pekerja) akan tetapi wanita dibentuk oleh ideology masyarakat patriarki untuk menjadi dominan dibidang subordinate, sebagai objek konsumsi dan subjek konsumsi. Dalam wacana media periklanan khususnya televisi, wanita diposisikan sebagai objek tanda yang dimasukkan ke dalam sistem tanda. Bibir, mata, pipi, rambut, paha, betis, pinggul, perut, buah dada, semuanya menjadi fragmen-fragmen tanda di dalam media patriarkhi, yang digunakan untuk menyampaikan makna tertentu. Semua fragmen-fragmen tanda ini artinya seakan-akan mewakili totalitas tubuh dan jiwa perempuan sendiri. Media menayangkan atau menggambarkan kembali melalui iklan dan sebagainya, sifat-sifat feminim yang dilekatkan pada diri perempuan. Misalnya keharusan untuk lebih mempertimbangkan emosi ketimbang pikiran, berperilaku halus dan lemah-gemulai dari pada kasar, serta peran sosialnya yang mesti berkiprah di ranah rumah tangga (domestic domain) bukan di ranah publik (public domain), yang sejak lama dibentuk masyarakat. Maraknya iklan yang menggunakan peran wanita dan tidak memposisikan wanita sebagaimana mestinya dan tidak cenderung melecehkan kaumnya. Semua tayangan-tayangan iklan seperti yang telah disebutkan diatas telah membuktikan bahwa media periklanan televisi telah mengeksploitasi kaum wanita. Dan dapat dikatakan telah melecehkan kaum hawa. Media sudah terlanjur terbiasa dengan apa yang sudah lama diadopsi, yakni terus mengembangkan eksploitasi pada wanita secara seksual dalam iklan-iklannya (khususnya televisi). Dan menurut saya itu kurang tepat digunakan dalam mempromosikan sebuah produk. Eksploitasi wanita dalam iklan televisi adalah sebuah fenomena iklan yang tidak akan pernah berhenti disuatu jaman. Ia akan selalu hadir dan hadir kembali.